Aku dan Mimpi (#NulisRandom2015, day 3)
Juni 04, 2015
“Duh, ternyata nulis random itu susah juga ya?”
"Tuh kan, udah mulai ngeluh! Padahal baru hari ke-3”
“Nggak kok, saya nggak ngeluh…Cuma curhat” hahaha
Eh, tapi bener lho ya, nulis random itu memang susah minta
ampun. Setelah saya cari tahu random itu apa, ternyata Random itu artinya
sembarangan, serampangan, acak acakan, tidak teratur. Kira kira artinya begitu.
Nah, kalau nulis random berarti nulisnya sembarangan, acak acakan dan tidak
teratur. Ternyata, saya tidak bisa kalau mau nulis itu langsung buka laptop,
trus ujug-ujug nulis berlembar-lembar langsung posting. Masa iya sih, nulisnya
sembarangan? Apalagi kalau mau di publish, harus di permak sana sini dulu
dong….
Meski kadang saya suka nulis seenak jidatnya sendiri, nggak
mungkin juga tanpa editan, tanpa persiapan #ngaku
Nah, mulai hari ke-3 ini, saya mau nyoba nentuin tema atau
topiknya terlebih dahulu sebelum menulis. Atau nanti ada perintah mau nulis apa
mau nulis apa. Jadi nanti nggak langsung ujug-ujug nulis gitu kayak kemaren.
Tulisannya di pagerin biar nggak lari kemana mana. Seperti bikin tugas gitu…
“Trus, yang ngasih tugas siapa?"
“Saya”
“Yang dikasih tugas?”
“Saya juga”
“Gimana sih, maksudnya?"
Okelah, dari pada bingung langsung aja ya…
Day 3 #Nulisrandom2015
Perintah : Ambil 1 tulisan belum jadi di foldermu secara
acak! Kemudian selesaikan tulisan itu sampai selesai. Buatlah endingnya
semenarik mungkin sesuai imajinasimu. Tulis untuk posting hari-3.
Nah, berhubung tulisan belum jadi itu banyak banget di
folder pribadiku, tugas ini bisa dibilang gampang-gampang susah.
Saya ambil sebuah tulisan dengan judul “Aku dan mimpi”.
Tulisan ini sebenernya sebuah catatan harian, tapi karena perintahnya disuruh
berimajinasi, jadi tak tambah-tambahin dikit bo'ongnya :D
langsung aja yuk.....
***
Aku dan Mimpi
Ku pikir, ini satu-satunya jalan agar aku bisa merasakan
bangku kuliah. Meskipun aku tidak terlalu tertarik dengan jurusan ini, toh
tidak bisa di pungkiri lagi, bahwa lowongan pekerjaannya luas. Bisa pilih yang
dekat atau jauh sekalipun. Dan bahkan, kalau seandainya tidak bisa mengajar di
sekolah kota, sekolah di dekat rumah pun jadi. Meski dengan honor kecil ataupun
tanpa digaji ( hiks…)
Aku merapikan baju coklat muda garis hitam senada dengan rok
hitam selututku. Kakiku terasa sedikit merasakan panas karena himpitan sepatu
pantofel yang tak biasa ku kenakan. Tes wawancara sudah berlangsung tiga puluh
menit yang lalu. Hanya tinggal menunggu giliran dan aku pun akan memasuki ruang
interogasi, duduk di kursi pesakitan menanti giliran "eksekusi mati",
lolos atau jadi diterima.
Melalui jendela kaca di samping pintu, aku mengintip
kesibukan di dalam ruangan. Beberapa orang diminta mengukur tinggi dan
menimbang beratnya. Di bangku yang lain, seorang calon mahasiswa ada yang di
suruh berjalan berlengggak-lenggok seperti model peragaan busana. Ada yang di
suruh baca teks. Bahkan ada pula yang di suruh berbicara di depan dengan suara
lantang. Apa yang di bicarakannya aku tidak terlalu mendengar, lagi pula itu
sebuah tes rahasia. Tidak boleh diketahui oleh peserta lain yang sedang
menunggu giliran.
Di luar, beberapa orang duduk komat-kamit membaca mantra.
Ada yang santai sambil cekikikan, ada yang tegang seperti tidak nyaman, malah
ada juga mbak-mbak yang dengan pedenya memegang plastik sebungkus syomai. Aku
sendiri berdiri, mendekap map sambil bersandar di tembok. Nyaris seperti orang
yang putus harapan. Sebenernya tidak hanya seperti, melainkan memang. Aku
memang sedang putus harapan. Setelah umptn gagal tak satupun yang diterima, aku
seperti seorang pengembara mencari mangsa. Mencari celah-celah agar tetap bisa
mewujudkan mimpiku untuk bisa kuliah. Dan saat ini, aku menjalani tes wawancara
masuk jurusan D2 PGSD (baca: Pendidikan Guru SD). Sekolahnya tidak lama,
paling banter hanya 2,5 tahun. Itupun kalau emang bodoh beneran. Tidak perlu
takut tidak lulus, karena pelajarannya pun tidak terlalu sulit. Hanya seputar
mengajar, dan pelajaran SD. Itu sih, menurut teman-temanku yang sudah lulus
kuliah dari kampus ini. Dan di jamin, pasti lulus.
Sulis sha!
Degghhh….jantungku berdetak keras sekali, ketika namaku
dipanggil oleh ibu-ibu berjilbab kuning.
“Sulis sha?” Tanyanya. Aku mengangguk.
“Silahkan duduk…”
Seperti mau konsultasi dengan dokter, aku mengangkat kursi
pelan. Sekilas, ibu-ibu itu memperhatikanku dan tersenyum.
“Tempat, tanggal lahir, alamat?” Katanya tanpa basa basi.
Aku menjawab satu persatu pertanyaannya setenang mungkin. Meski sebenarnya,
jantungku berdetak 120 kali semenit, mengalahkan ketika lomba lari marathon.
“Rumah kamu jauh sekali, nak. Berapa kilo kira-kira?”
“60 kilo”
“Naik bis berapa jam?”
“Sekitar dua jam kalau tidak ada halangan…”
Dosen bernama Elli itu mengangguk angguk. Entah prihatin
entah mengerti.
“Kalau nanti kamu di terima, apa kamu mau kost?” Katanya
pelan.
“Iya….”
“Di sini ada asrama putri, kamu mau tinggal di asrama?”
“Mau...” Aku mengangguk mantap.
“Tapi ada aturan-aturannya lho….”
“Saya mau menaati aturannya, bu…” Kataku sedikit lemah.
Dalam hati terus memohon, pliisss…..terima aku!
Ibu guru itu tersenyum ramah, meleteakkan pulpen dan buku
yang dari tadi dipegangnya. Ia memandangiku dengan seksama dan dalam tempo yang
sesingkat-singkatnya menyuruhku berdiri. Tersenyum.
“Silahkan duduk kembali…” Katanya.
"Hanya itu?" Pikirku.
Entah apa yanga ada di benak dosen berkacamata itu.
Menatapku dengan sorot mata yang penasaran.
“Orang tuamu kerja apa nak ?” Tanyanya lagi.
“Buruh….karyawan swasta“ Jawabku.
Ibu dosen kembali menulis di kertasnya. Sebenarnya, aku
sangat mennyesal mengatakan itu. Bukan, bukan karena malu, tapi aku berharap,
seandainya lolos dari seleksi, bukan alasan itu yang membuatku di terima di
fakultas ini.
Jantugku perlahan mulai berdetak normal. Sambil menunggu
dosen itu menulis sesuatu di kertasnya, aku membuka saku perlahan, merogoh sebuah
pasir kecil-kecil yang dari tadi kukantongi. Tadi pagi, sebelum berangkat,
seorang kakek tetangga berpesan “Sebarkan di bawah meja wawancara”. Tapi, aku
urungkan niat seketika. Tidak percaya. Saat ujian umptn, benda yang kuketahui
bernama kemenyan itu sudah kubuang-buang di bawah meja. Nyatanya, hasilnya
tetap nihil. Bahkan dari 650 mahasiswa yang dijaring melalui seleksi ujian
negri itu, sama sekali tidak ada nama yang mirip denganku.
Aku menarik nafasku pelan. Harap-harap cemas menunggu
interogasi sang dosen selanjutnya. Namun, ketika dosen itu berhenti menulis,
aku tiba-tiba di persilahkan ke luar ruangan. Perasaanku tidak enak. Sebelum
aku balik kanan, sang dosen itu salaman denganku, sambil berkomentar,
“Saya suka paduan baju panjang dan rok hitam yang kamu
pakai.” Ujarnya.
Huaaaaaa……hampir saja aku berteriak girang mau melepar
sepatu. Rasanya sudah tak sabar mau melepaskan sepatu pantofel yang dari tadi
mengusik jari jari kakiku. Mukaku memerah, sambil berjalan ke luar, sang dosen
manis itupun tersenyum menatapku sampai di depan pintu.
Huuft...dalam hati rasanya lega. Puas sekali walaupun itu
bukanlah sebuah harapan yang sempurna dari hatiku. Tapi, kemenangan dari sebuah
usaha yang dilakukan adalah sebuah kepuasan tersendiri bagiku.
***
“Jadi, kamu yakin bakal di terima?” Siti, tatanggaku yang
juga teman akrabku bertanya sore itu saat main ke rumah.
“Mungkin” Jawabku pendek.
Kami duduk di teras depan rumah. Menghadap bunga sedap malam
yang mulai mengering kena sinar matahari seharian. Aku diam memperhatikan
kupu-kupu terbang, capung yang hinggap di tali jemuran depan rumah.
“Kamu nggak suka ya, kuliah di situ?” Tanyanya penuh
selidik.
Aku menggeleng pelan.
Siti tau, ini bukanlah cita-citaku. Bukan juga mimpiku
selama ini. Keinginanku untuk kuliah di universitas terbagus se-asia tenggara
kandas sudah. Harapanku terkubur, sejak bapak bilang tidak kuat membiayaiku
kuliah di universitas idamanku itu.
“Kuliah, tapi yang jelas jelas saja. Tidak usah yang
terkenal atau mahal, yang penting lapangan kerja luas” Begitu pesan bapak tempo
hari.
“Lagi pula, wanita itu pilih kerja yang waktunya sedikit
meninggalkan keluarga. Jadi guru SD kan cuma setengah hari pulang, masih bisa
ngurus suami dan anak“ Tambahnya lagi.
Bayanganku mengantongi kartu anggota pers dan menjinnjing
kamera kemana-mana sirna. Biar…biarlah semua terkubur, yang penting bisa
kuliah. Tidak hanya cukup tamatan sma, duduk manis menunggu jodoh seperti nasib
Siti sekarang. Aku menghela nafas perlahan.
“Sit, emangnya bener kamu nggak boleh kuliah?” Kataku.
Siti menunduk perlahan, matanya yang bulat berkaca-kaca.
Hampir saja bulir-bulir bening itu jatuh di pipinya yang putih mulus tak
berjerawat sepertiku.
“Udahlah Sit, nanti aku ajak kamu ke kostku. Aku kenalin
kamu ke teman-temanku” Aku memeluk siti pelan.
“Dan satu lagi, kalau nanti jadi guru, kamu bisa jadi
asaisten pribadiku” Kataku asal menghibur.
“Emang guru butuh asisten ya, sha?” Aku berpikir sebentar.
Menggaruk kepala.
“Butuh….” Siti menatapku penasaran.
"Koreksi nilai ulangan" Ucapku lirih. Kami berdua
tertawa. Berpelukaaaaan....
***
Hari yang ditunggu-tunggu tiba. Apalagi kalau bukan
pengumuman hasil tes seleksi masuk pgsd. Hari yang sudah di tentukan, peserta
seleksi harus datang sendiri ke fakultas untuk mengambil hasil tes seleksi. Tuh
kan, apa ku bilang. Bahkan saking jadulnya fakautas keguruan itu, sampai-sampai
hasil seleksi saja tidak dimuat di Koran. Bukannya lewat surat kabar lebih
praktis. Lewat internet atau e-mail, misalnya. Tapi, dekan fakultas berdalih,
bagi peserta yang tidak lulus tes seleksi pertama bisa langsung mendaftarkan
diri untuk tes seleksi selanjutnya di kantor universitas. Promosi hemat di
ongkos.
Aku menarik nafas perlahan. Menunggu dipanggil dosen yang
sudah sejak tadi stand by di dalam kelas. Wajah-wajah tegang, cemas,
prihatin terlihat dari mereka yang duduk menunggu giliran dipanggil. Aku
sendiri duduk diantara mereka, memangku tas ransel biru dongker
kesayanganku.
Prihatin. Berkali-kali aku harus mengatakan pri-ha-tin!
Kampus ini terlihat sangat tidak terawat. Lapangan rumput hijau menghampar di
tengah-tengan bangunan kampus. Pohon-pohon besar tumbuh mengitarinya. Ada ruang
olah raga, perpustakaan, kantin, aula. Sayangnya, tampak kumuh dan berdebu.
Kursi-kursi di dalam kelas sudah terlihat tua, malah
meja-meja nya sudah banyak yang lapuk termakan usia. Mungkin sudah berumur
puluhan tahun atau sejak jaman guru-guruku dulu mulai sekolah. Konon ceritanya,
sekolahan, eh, tepatnya kampus ini, dibangun sejak masih jaman belanda berkuasa
di kota ini. Sekolahan ini hanya dikhususkan untuk anak-anak pejabat dan
orang-orang kaya pada waktu itu. Makanya, kampus ini di sebut-sebut sebagai
tonggak perjuanagn bangsa Indonesia dalam meraih pendidikan. Halah…..
Wanita di sebelahku berdiri, mondar mandir seperti adegan di
depan ruang icu dalam film drama romantis “sang pacar lagi kritis”. Aku melirik
laki-laki di sebelahku yang sedang baca komik.
“Duh, lama juga ya…..” Keluh cewek berambut sebahu, yang
dari tadi memandangi hamparan rumput hijau di depan ruangan. Tangannya meraih
sapu tangan motif bunga untuk mengelap keringat di wajah. Aku meraih hp di saku
baju lengan panjangku,“sambungan internet gagal”. Setelah di cek, ternyata
pulsa hanya tinggal Rp.50;. Aku mendengus kesal.
“Mas, boleh minta tempat duduknya sebentar?” Seorang ibu-ibu
sedang hamil minta tempat duduk.
Selang beberapa waktu, ibu-ibu itu samar terdengar mulai
ngajak kenalan teman yang duduk di sebelahnya. Dari penuturannya, ibu itu
ternyata juga ikut daftar kuliah di sini. Lagi hamil?? Emang bisa ya?
Bisa, karena fakultas ini tidak membatasi calon
mahasiswanya. Itulah enaknya memilih jurusan pendidikan guru. Belajar seumur
hidup.
Salah satu calon mahasiswa tadi dipanggil. Tak berapa lama,
ia keluar sambil membawa sebuah amplop yang ditutup rapi. Agak grogi ia
menyobeknya, diiringi panggilan calon mahasiswa selanjutnya.
"Alhamdlillah……woiiii aku di terima woiii…..” Teriaknya
sambil muterin lapangan rumput hijau. si mas-mas mulai over
mengekspresikan kegembiraannya. Suasana seketika berbeda dari sebelumnya.
Setelah wajah-wajah cemas, dag dig dug dor, kali ini giliran tampang-tampang
cerah terlihat bahagia. Senyum-senyum sendiri, saling peluk, teriak teriak
seperti mas-mas tadi bernyanyi sambil muterin lapangan. Tapi ada juga yang
berteriak histeri, guling guling di tanah sambil nangis-nangis, malah ada juga
yang mengancam bunuh diri pakai pisau kantin. Suasana sudah berubah mirip rumah
sakit jiwa. Di ruangan lain, seorang calon mahasiswa yang tidak lolos nekat
memukuli dosen yang lewat di depan ruangan. Suasana makin mencekam, ketika
mereka benar-benar nekat mengobrak-abrik meja dan kursi di dalam kelas.
Sayangnya, sampai saya ngetik tulisan itu selesai, semua
kerusuhan itu tidak pernah terjadi. Karena ternyata, para peserta yang tidak
lulus sudah di sms sehari sebelumnya. Dan yang datang hari itu, adalah calon
mahasiswa yang diterima!
Penipuan! Dan aku sebagai salah satu korban dari penipuan
ini.
“ Yuhuuu.......aku di terima!”
Catatan : Kisah ini hanyalah fiktif belaka. Jika ada
kesamaan pelaku, peristiwa, dan tempat kejadian, itu hanyalah kebetulan :D
0 komentar
terima kasih sudah komentar di blog ini. komentar insya Allah akan saya balas. Atau kunjungan balik ke blognya masing masing :)